Hari ini hari kamis dan entah kenapa aku sangat merasa malas untuk beranjak dari kasur. Pagi ini sungguh cerah dan semua orang pun sibuk dengan rutinitas mereka masing-masing. Begitupun aku dan ibuku, setiap hari ibuku selalu bangun pagi untuk menyiapkan roti yang akan ia jual di pasar. Hal itu sudah 12 tahun ia lakukan demi membesarkanku, anak laki-laki satu-satunya. Selama itu pula ia mendidikku tanpa dampingan seorang suami. Ayahku mati syahid ketika aku masih dalam kandungan ibuku ia syahid ketika sedang membela kehormatan agama islam. Dadanya tertembus timah panas tentara Israel yang menembaknya dengan sniper dari atas sebuah gedung. Ibuku adalah hidupku.
Bangun pagi, mandi, solat shubuh, minum susu dan berangkat ke sekolah adalah rutinitasku setiap hari kecuali hari jum’at tentunya karena pada hari itu sekolahku libur dan biasanya pada hari jum’at aku membantu ibuku untuk berjualan roti di pasar sampai waktu salat jum’at tiba. Seperti biasa hari ini aku bangun pukul 05.30 setelah ibuku dengan sabar keluar masuk kamar membangunkanku. “Rahmat, bangun.. sudah pagi nak, salat shubuh dulu..” Ibuku membangunkanku. Aku pun terhenyak dari mimpiku, sesaat aku terdiam lalu aku pun melihat wajah ibuku yang tersenyum padaku. Hal itu sungguh membuat hatiku bergetar. Dengan cepat aku pun beranjak dari kasur, mengambil handuk lalu pergi ke kamar mandi yang letaknya tak jauh dari kamarku. Bagiku suaranya itu bagaikan alunan melodi terindah yang dapat menggetarkan seluruh dunia beserta isinya. Ibuku adalah hidupku.
Selesai mandi Aku menuju kamar untuk bersiap-siap berangkat ke sekolah. Setelah mengenakan pakaian Aku menggelar sajadah untuk menunaikan salat shubuh. Dalam senyap Aku berdoa kepada Allah untuk keselamatan ibuku, kesehatan dan kedamaian dalam hidupnya Aku juga berdoa untuk keselamatanku, kesehatan dan kedamaian yang selama ini aku dambakan dalam hidupku. Terakhir Aku juga mendoakan ayahku dan juga para mujahidin lainnya yang mati syahid membela agama islam. Aku berharap Allah mengizinkanku untuk mengikuti jejak langkah mereka. Amien.
Aku keluar kamar dengan menggendong tas di punggungku dan langsung menuju ruang makan yang berada di belakang rumah kami. Di sana ibuku sedang duduk sambil menikmati susu hangat yang sepertinya belum lama dibuatnya. Menyadari kehadiran anaknya ia pun langsung menuangkan susu yang telah dibuatnya ke dalam gelas dan menyisihkan beberapa potong roti ke piring untuk dimakan olehku. Dengan perlahan aku menggeser kursi makan dan duduk di atasnya. “Selamat pagi bu” Aku menyapanya. “Selamat pagi cintaku” sambil tersenyum ia menaruh segelas susu dan sepiring roti untukku. “Terima kasih bu” sambil mebalas senyumannya. Aku merasa heran dengan keadaan ruang makan pada pagi itu. Aku tidak melihat sepotong roti pun di baskom yang biasanya ibu gunakan untuk menjual roti di pasar. “Hari ini ibu tidak pergi ke pasar?” Aku bertanya. “Tidak” jawabnya lirih “Pasti karena ulah tentara Israel itu ya?!” Aku bertanya sambil mengepalkan tangan kiriku. “Sudahlah tak usah mengkhawatirkan ibu” ibu menenangkan. “Tapi bu..” belum selesai aku bicara ibu sudah memotong “Iya ibu mengerti kamu ingin melindungi ibu kan?! Kalau kamu ingin melindungi ibu kamu harus rajin belajar dan menjadi orang yang berguna bagi agama dengan begitu ibu akan bangga kepadamu, sudah tidak usah kita bahas lagi masalah ini sudah jam 06.30 cepat habiskan sarapanmu dan lekaslah berangkat ke sekolah” ibu tersenyum sambil mengusap-usap kepalaku dengan tangannya yang lembut. Entah kenapa hal itu tetap tidak membuatku menjadi lebih tenang.
Setibanya di sekolah aku terus memikirkan ibu. Entah kenapa ingin rasanya aku kembali lagi ke rumah hanya untuk sekedar melihat keadaan ibu apakah dia baik-naik saja atau tidak. Tapi kuurungkan niatku karena bel tanda dimulainya pelajaran pertama sudah berbunyi. Aku memasuki kelas dengan perasaan yang tak tenang. Tidak terasa jam sudah menunjukkan tepat pukul 12.00 dan itu tandanya pelajaran untuk hari ini sudah selesai. Bel pun berbunyi dan kami semua bersiap untuk pulang. “Tunggu sebentar anak-anak ibu ingin mengumumkan hasil ulangan harian yang telah kalian lakukan seminggu yang lalu” ibu guru berkata dengan nada suara yang agak tinggi agar didengar oleh semua muridnya. Kami pun kembali tenang dan duduk manis dengan tas yang sudah kami gendong di punggung. “Baik, Alhamdulillah kalian semua lulus” sesaat setelah ibu guru berkata demikian kelas pun menjadi berisik kembali. Teman – temanku ada yang bersyukur, ada juga yang saling tersenyum penuh arti seperti senyum seorang maling yang berhasil kabur dari kejaran polisi. Aku hanya terdiam dan ingin rasanya semua ini cepat berakhir. “Tenang ibu ingin memberitahu kalian siapa yang mendapatkan nilai yang tertinggi!” semua murid menoleh satu sama lain mencoba menerka siapakah diantara meraka yang mendapatkan nilai yang tertinggi. Hal ini sungguh membuatku semakin segan untuk berada di dalam kelas karena sudah pasti ini akan memakan waktu yang cukup lama. Kemudian ibu guru membacakan satu per satu nilai kami dari yang terendah sampai yang tertinggi hingga hanya satu kertas lagi yang kulihat masih dipegangnya. Dan satu-satunya murid yang belum disebutkan namanya adalah Aku. Semuanya menoleh padaku dan ini membuatku gugup. “Sepertinya kalian sudah mengetahui siapa yang mendapatkan nilai tertinggi, Rahmat selamat kamu mendapatkan nilai yang tertinggi di kelas!” ibu guru berkata sambil tersenyum padaku. Sontak kelas pun menjadi sangat ramai dengan suara tepuk tangan dari semua teman sekelasku. Untuk sesaat aku merasa seperti terbang di awan dan melupakan rasa khawatirku kepada ibu.
Aku pulang dengan kertas ulangan yang masih kugenggam sedari tadi. Sedikit berlari aku pulang menuju rumah ingin segera menunjukkan hasil ulanganku pada ibu. Berharap dapat melihat senyum bangga dari seorang wanita yang sangat kusayang. Tetapi semua itu sirna ketika Aku melihat rumah kami dikelilingi oleh sekitar sepuluh pasukan Israel. Seketika aku berlari lebih kencang ke rumah. Kakiku menjadi lunglai ketika aku melihat 2 orang tentara Israel menangkap seorang wanita yang sangat kukenal. “Ibu..!” aku berteriak dengan suara yag serak. Mereka semua menoleh kepadaku, Aku terdiam. Aku mendengar salah seorang dari mereka berkata “Apakah dia anakmu?” lalu ibuku langsung menjawab “Tidak, aku tak pernah memiliki anak seperti dia” aku terhenyak, suaraku tertahan di tenggorokan “Mengapa ibu berkata seperti itu?! Aku rahmat bu.. anakmu satu-satunya!”. Mereka pun berlalu tanpa menoleh sedikitpun kepadaku. Tiba-tiba semuanya menjadi terang saat aku melihat senyuman ibuku yang sedang mengusap-usap kepalaku dengan tangannya yang lembut. “Rahmat, bangun.. sudah pagi nak, salat shubuh dulu..” Ibuku membangunkanku sambil tersenyum. Ternyata semua itu hanya mimpi. Aku langsung memeluknya erat-erat dan tak terasa air mata menetes dari pipiku. Ibuku merasa heran dengan tingkahku. Aku hanya bisa terdiam sambil menangis tersedu-sedu. Ibuku adalah hidupku.
Sukabumi, 20 Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar